Siang itu, lobi Gedung Bhinneka 1 di BBGTK Jatim dipenuhi atmosfer hangat yang kontras dengan mendungnya langit Desember. Di sudut ruangan, saya duduk bersama Bu Sri Kanjeng, Bu Lely, dan Pak Patmo. Aroma kopi yang baru diseduh oleh tangan terampil Bu Lely mulai menari-nari di udara, menyusup lembut ke indra penciuman seolah memberikan pelukan perpisahan yang menenangkan.
"Ini untukmu," ucapnya lembut. Kopi itu bukan sekadar minuman; ia adalah cairan hitam penuh kenangan yang akan saya bawa pulang. Tak lama, kurir Gojek pesanan saya tiba, menjadi tanda bahwa waktu telah menarik garis batas. Kami bersalaman, saling bertukar doa yang tulus, dan menggantungkan harapan di langit-langit lobi agar suatu saat garis takdir mempertemukan kami kembali.
Perjalanan membawa saya turun di dekat Kantor Kelurahan Junrejo. Sebuah tugu berdiri tegak di sana, membisu namun megah, menjadi saksi bisu denyut kehidupan persimpangan jalan. Langkah kaki membawa saya kembali ke sebuah rumah makan Padang yang sederhana—destinasi yang seolah menjadi magnet rasa bagi lidah saya.
Ini adalah kali kedua saya singgah di sini. Ingatan saya melompat ke masa lalu, saat saya menaiki Trans Jatim dari Kota Batu dan turun di titik yang sama. Menu pilihannya pun masih identik: sepotong ikan dengan bumbu meresap yang memanjakan lidah. Di tengah dunia yang serba mahal, piring berisi nasi hangat dan lauk pilihan ini tetap setia dengan harga yang ramah di kantong, cukup dengan selembar sepuluh ribuan dan beberapa keping koin—Rp13.000 untuk sebuah kepuasan yang jujur.
Usai menunaikan hajat perut, saya berdiri di tepi jalan, menanti bus Trans Jatim. Tak lama, armada itu muncul, namun interiornya nampak sesak oleh lautan manusia, membuat pintunya seolah enggan menampung beban baru. Saya memilih bersabar, membiarkannya melesat pergi dan menunggu bus berikutnya yang lebih lowong.
Keberuntungan berpihak saat bus selanjutnya tiba. Di dalamnya, kenyamanan menyergap. Mesin yang menderu halus menemani perjalanan saya menuju Terminal Madyopuro. Aspal Malang terasa meluncur mulus di bawah roda. Setibanya di terminal, saya kembali membuka aplikasi ojol—sang asisten digital yang tak pernah lelah—untuk mengantarkan saya ke pelabuhan terakhir hari ini: rumah saudara sepupu.

No comments:
Post a Comment