Setelah sekian lama terjebak dalam labirin kekhawatiran, nada sambung itu akhirnya pecah menjadi suara napas yang berat. Duniamu yang tadi terasa runtuh, perlahan kembali tegak, meski kini diwarnai rasa jengkel yang menggelitik.
"Halo... Sayang?" Suaranya terdengar seperti bisikan angin yang malu-malu, serak dan penuh beban dosa.
"Di mana kamu?!" suaraku meninggi, membelah kebisingan bandara. Jantungku yang tadi melompat-lompat liar kini seolah menuntut penjelasan. "Aku sudah di depan pintu kedatangan, mataku sampai perih menatap ratusan orang, tapi kamu tidak ada!"
Ada jeda sejenak. Aku bisa membayangkan dia di sana, mengusap wajahnya yang mungkin masih sembab. "Maafkan aku, Sayang... benar-benar maaf. Ruang tunggu itu terlalu nyaman, atau mungkin aku yang terlalu lelah. Suara pengumuman itu seolah menjadi lagu nina bobo bagiku. Aku... aku ketiduran. Saat terbangun, landasan sudah kosong. Pesawatnya sudah terbang membawa mimpiku untuk segera memelukmu."
Mendengar pengakuannya yang konyol itu, kemarahanku yang semula berkobar bak api disiram bensin, tiba-tiba padam oleh rasa geli. "Ketiduran? Kamu ini sedang mengejar pesawat atau sedang lomba tidur?"
"Jangan tertawa dulu," suaranya mulai melunak, ada nada manja yang terselip. "Aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia saat melihat jam. Sekarang aku sudah di depan loket, sudah beli tiket baru. Aku akan menyusulmu dengan penerbangan berikutnya. Bisakah kamu menunggu sedikit lebih lama lagi? Aku berjanji, sebagai gantinya, aku akan jadi asisten pribadimu selama seminggu penuh."
Aku menghela napas, aroma parfum yang kupakai pagi tadi—yang kini mulai memudar tertutup keringat—tercium samar. "Hanya seminggu? Aku butuh lebih dari itu untuk membayar rasa panik ini. Cepatlah datang, sebelum aku berubah jadi patung di bandara ini."
"Aku segera ke sana. Tunggu aku, ya?"
Telepon tertutup. Aku menyandarkan punggung pada kursi besi yang dingin. Di depanku, jarum jam dinding Raden Inten II tampak menari lambat, seolah mengejek penantianku yang kini harus diperpanjang. Namun, setidaknya beban di dadaku sudah terangkat, digantikan oleh debar sabar yang kembali tenang.***


No comments:
Post a Comment