Pukul 05.29 WIB, bus melambat dan membuang sauh di Gerbang Tol Weleri. Kehidupan di luar sana mulai menggeliat. Setelah melewati lampu merah, dua penumpang turun, membawa pergi sekelumit cerita perjalanan mereka. Bus kemudian berputar haluan, kembali melaju memasuki urat nadi tol, membelah pagi yang kian terang.
Cahaya matahari pagi yang jingga keemasan mulai menerobos masuk, menyentuh tirai-tirai kain dan debu halus yang menari di udara kabin. Di tengah sorot cahaya itu, pemandangan syahdu tersaji. Seorang wanita di barisan kursi tampak begitu khusyuk. Bibirnya bergerak tanpa suara, memanjatkan doa-doa pagi sebagai rasa syukur atas perlindungan sepanjang malam. Jari-jarinya tak berhenti, dengan cekatan memetik biji-biji tasbih, seolah setiap putarannya adalah langkah kaki yang mendekatkannya pada rida Sang Pencipta.
Usai mengadu pada Langit, ia kembali pada dunia. Tasbih itu disimpan dengan rapi, berganti dengan smartphone untuk sekadar mengecek kabar atau waktu. Namun, rutinitas paginya belum usai. Ia mengambil butiran obat, meminumnya dengan seteguk air kemasan untuk menjaga raga tetap bugar di tengah perjalanan panjang.
Botol air itu kembali ke tempatnya di kantung kursi, dan sepotong roti kini berada di tangannya. Ia mengunyahnya perlahan, menikmati sarapan sederhana di atas roda yang terus berputar. Di matanya, terpantul bayangan sawah dan pepohonan yang lari menjauh di balik jendela. Sebuah pagi yang tenang, penuh kepasrahan, dan persiapan untuk menghadapi hari baru di tanah Jawa.
No comments:
Post a Comment