Sentuhan jari Arum beralih dari ponsel ke dalam tasnya, meraba permukaan halus beberapa sampul buku yang selalu ia bawa. Buku-buku itu bukan sekadar tumpukan kertas dan tinta; itu adalah buah pikir Mas Setyo yang diberikan langsung kepadanya saat pertemuan di Bandung dulu.
Sebagai seorang kepala perpustakaan, Arum tahu benar bagaimana cara menghargai sebuah buku. Namun, buku-buku karya Mas Setyo ini menempati rak paling istimewa dalam hati dan ingatannya.
Arum mengeluarkan salah satu buku tersebut. Bau khas kertas lama bercampur aroma vanila samar menguar saat ia membuka halaman pertamanya. Di sana, tertulis sebuah dedikasi dengan tinta hitam yang tegas namun luwes—gaya tulisan tangan yang mencerminkan ketegasan Mas Setyo sebagai bagian dari Tim Solid.
"Buku ini... dulu Mas Setyo bilang, 'Simpan ini di perpustakaanmu, Rum. Jika suatu saat kamu kehilangan arah dalam menulis, bacalah halaman tengahnya,'" bisik Arum dalam hati.
Ia teringat betapa bangganya ia saat itu. Seorang kepala perpustakaan menerima harta karun langsung dari penulisnya. Buku-buku itu adalah jembatan intelektual yang menghubungkan mereka, jauh melampaui urusan administratif transfer kegiatan yang tertera di flyer.
"Itu buku karya Setyo yang edisi terbatas, ya?" tanya salah seorang anggota Tim Solid yang melihat Arum membelai sampul buku tersebut.
Arum mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Iya. Sebagai pustakawan, saya sudah memegang ribuan buku. Tapi buku ini punya 'nyawa' yang berbeda. Mas Setyo memberikannya dengan pesan agar literasi di tempat saya terus hidup."
Om Jay yang masih berada di dekatnya tersenyum tipis. "Dia memang sangat menghargaimu, Rum. Dia tahu di tangan seorang kepala perpustakaan seperti kamu, pemikiran-pemikirannya tidak akan hanya berhenti di rak, tapi akan mengalir ke kepala-kepala orang lain. Persis seperti aliran dana di flyer itu—dia ingin semuanya produktif dan bermanfaat."
Suara riuh di depan panggung kembali memuncak saat sesi doorprize dimulai. Namun, saat pembawa acara menyebutkan bahwa salah satu hadiah tambahan adalah paket buku eksklusif sumbangan dari Mas Setyo, suasana mendadak hening sejenak.
"Hadiah ini dikirimkan langsung dari beliau untuk Kopdar Malang," seru pembawa acara.
Arum mendekap bukunya lebih erat. Rasa rindu itu kini tidak lagi terasa pahit seperti ampas kopi. Melalui buku-buku di tangannya dan buku-buku yang kini dibagikan di atas panggung, ia merasa Mas Setyo hadir dalam bentuk yang paling abadi: ide dan inspirasi. Meski raganya tertahan di kejauhan, aromanya sebagai penulis dan mentor tetap memenuhi ruangan, menyemangati Arum untuk terus mengelola "perpustakaan" rindu di dalam jiwanya. ***
No comments:
Post a Comment