Di bawah langit Jawa Timur yang menjatuhkan gerimis tipis, sebuah perjamuan batin sedang dirayakan. Gedung BBGTK bukan lagi sekadar susunan batu bata dan semen, ia telah menjelma menjadi sajadah panjang bagi para guru yang bersujud dalam khidmatnya literasi. Di sinilah, rindu dan karya berkelindan dalam pelukan dingin udara Malang yang mulai menyapa tulang.
Elegi yang Menjelma Cahaya
Mari sejenak menyentuh kisah Doktor Daswatia. Bayangkan sebuah hati yang dihantam badai paling sunyi; kehilangan satu-satunya pelita hati. Kehilangan itu adalah sembilu yang menari di atas luka terbuka. Namun, beliau menolak untuk binasa dalam duka yang pekat.
Beliau memungut serpihan hatinya yang berserakan, lalu merekatkannya kembali dengan lem kasih sayang bernama tulisan. Lewat Pentigraf, ia melukis rasa. Kita seolah bisa mendengar detak jantung yang sesak dalam pentigraf peristiwa, namun perlahan mencium aroma bedak bayi yang menenangkan dalam pentigraf momong cucu. Menulis baginya adalah tarian jemari di atas luka yang mengering, mengubah perih menjadi benih-benih kearifan.
Pendakian Spiritual di Atas Kertas
Menulis bukan sekadar menjajajkan kata di pasar wacana. Ia adalah sebuah pendakian menuju puncak kesadaran:
* Syariat adalah langkah awal yang tertatih, memastikan raga tulisan tak cacat oleh ejaan yang pincang.
* Tarekat adalah laku prihatin, di mana penulis mencucurkan keringat konsistensi, mendisiplinkan jemari untuk terus menari meski ide sedang bersembunyi.
* Hakikat adalah saat tulisan mulai memiliki ruh. Kata-kata tak lagi dingin, ia mulai hangat karena dialiri darah kejujuran.
* Makrifat adalah fana. Penulis lenyap, yang tersisa hanyalah pesan suci yang mengalir jernih. Di titik ini, menulis adalah ibadah sunyi di mana tinta berubah menjadi cahaya yang menuntun pembaca pulang ke rumah makna.
Menenun Asa di Kota Pusaka
Dalam riuh rendah Temu Penulis KBMN ke-4, suara Omjay bergema seperti lonceng pengingat di tengah lelapnya mimpi. "Menulislah dengan hati," tuturnya. Kalimat itu jatuh seperti tetesan madu di lidah para guru, manis namun sarat akan gizi kehidupan.
Kini, para guru bersiap menyongsong mentari di Malang Heritage. Mereka akan menyusuri gang-gang kuno, menyesap aroma masa lalu, dan mengabadikannya dalam bait-bait sejarah. Suara pemateri yang sempat pecah bergema di aula semalam, kini berubah menjadi gemuruh tekad yang utuh di dalam dada.
Sebab mereka tahu, guru yang menulis sedang menyusun tangga menuju keabadian. Meski raga kelak akan dikubur waktu, namun kata-kata yang lahir dari rahim ketulusan akan terus bernapas, menjadi warisan yang takkan lekang oleh panas, takkan lapuk oleh hujan.


No comments:
Post a Comment