Monday, December 22, 2025

Mahkota di Balik Kabut Kalianda

Pukul empat pagi, Bandar Lampung masih terlelap dalam selimut kabut. Namun, di dalam mobil yang melaju membelah aspal menuju Selatan, jantung Caca justru berdentum seperti genderang perang. Bau minyak kayu putih dari tas Pak Winarno bercampur dengan aroma kopi hitam yang tajam, menciptakan suasana ganjil yang menenangkan sekaligus mencemaskan.

"Tidurlah sejenak, Ca. Jalanan ini masih panjang," suara Pak Winarno berat dan teduh, seperti gemuruh ombak yang jauh. Caca hanya mengangguk, meski matanya tetap terpaku pada lampu-lampu jalan yang berlarian di balik kaca jendela.

Setibanya di Grand Elty, udara pesisir menyergapnya dengan ciuman garam yang lengket. Semburat jingga mulai merobek langit subuh, menyinari hampir seribu pelari yang bergerak gelisah seperti semut yang mencari sarang. Caca merasa kecil. Ia merasa seperti sebutir debu di tengah badai semangat yang meluap-luap.

Peluit dimulai.

Langkah-langkah kaki pertama terasa ringan, namun itu hanya tipu daya. Memasuki kilometer ketujuh, jalur trail itu mulai menunjukkan taringnya. Hutan Kalianda bukan lagi sebuah pemandangan; ia adalah monster hijau yang menelan napas Caca bulat-bulat.

Tiba-tiba, krak! Betis kanannya terasa seperti dicengkeram oleh tangan besi yang tak kasat mata. Ototnya memilin, kaku, dan panas. Caca ambruk. Wajahnya nyaris mencium tanah merah yang berbau sisa hujan semalam. Di atas sana, matahari mulai memahat rasa sakit di ubun-ubunnya.

"Aku menyerah," bisiknya pada akar pohon yang menjalar. Dunianya mulai mengabur oleh kristal bening yang mendesak keluar dari sudut matanya. Rasa asin air mata jatuh, bersatu dengan keringat yang mengucur deras seperti anak sungai di pelipisnya.

Namun, kemudian terdengar suara gesekan sepatu di atas daun kering—sebuah ritme yang tenang dan berwibawa.

"Gunung ini tidak punya niat jahat, Ca. Dia hanya ingin kau mencicipi sedikit perjuangan sebelum memberikan hadiahnya," Pak Winarno muncul seperti oase di tengah gurun. Beliau tidak mengulurkan tangan untuk menariknya berdiri, melainkan memberikan kepercayaan melalui tatapan matanya.

Dengan sisa nyali yang terserak, Caca bangkit. Ia menyeret kakinya yang berdenyut, mendaki tanjakan terakhir yang terasa seperti tangga menuju langit. Dan saat ia tiba di puncak, semilir angin laut menyapu wajahnya dengan kelembutan sutra. Bau tanah basah dan wangi hutan seketika sirna, berganti dengan aroma kemenangan yang manis dan tak terlukiskan.

Di bawah sana, laut Lampung Selatan berkilau seperti jutaan berlian yang tumpah di atas permadani biru.

Momen di gate finish adalah simfoni yang riuh. Sorak-sorai penonton pecah seperti ombak menghantam karang. Saat medali dingin itu dilingkarkan di lehernya, logam itu terasa lebih berat dari emas mana pun—ia membawa beban keringat, air mata, dan harga diri.

Perjalanan itu ditutup di sebuah meja kayu RM Simpang Marina. Aroma pindang simba yang mengepul mengeluarkan uap rempah yang menggoda indra penciuman. Saat kuah kuningnya yang asam, pedas, dan segar menyentuh lidah, Caca merasa seluruh sel di tubuhnya bersorak.

"Bagaimana, Ca?" tanya Pak Winarno singkat.

Caca tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menyentuh medalinya, lalu menyuap potongan ikan simba yang lembut itu. Hari ini, ia telah memakan rasa takutnya sendiri, dan rasanya sungguh nikmat.

No comments: