Monday, December 22, 2025

Mahkota di Balik Kabut Kalianda

Pukul empat pagi, Bandar Lampung masih terlelap dalam selimut kabut. Namun, di dalam mobil yang melaju membelah aspal menuju Selatan, jantung Caca justru berdentum seperti genderang perang. Bau minyak kayu putih dari tas Pak Winarno bercampur dengan aroma kopi hitam yang tajam, menciptakan suasana ganjil yang menenangkan sekaligus mencemaskan.

"Tidurlah sejenak, Ca. Jalanan ini masih panjang," suara Pak Winarno berat dan teduh, seperti gemuruh ombak yang jauh. Caca hanya mengangguk, meski matanya tetap terpaku pada lampu-lampu jalan yang berlarian di balik kaca jendela.

Setibanya di Grand Elty, udara pesisir menyergapnya dengan ciuman garam yang lengket. Semburat jingga mulai merobek langit subuh, menyinari hampir seribu pelari yang bergerak gelisah seperti semut yang mencari sarang. Caca merasa kecil. Ia merasa seperti sebutir debu di tengah badai semangat yang meluap-luap.

Peluit dimulai.

Langkah-langkah kaki pertama terasa ringan, namun itu hanya tipu daya. Memasuki kilometer ketujuh, jalur trail itu mulai menunjukkan taringnya. Hutan Kalianda bukan lagi sebuah pemandangan; ia adalah monster hijau yang menelan napas Caca bulat-bulat.

Tiba-tiba, krak! Betis kanannya terasa seperti dicengkeram oleh tangan besi yang tak kasat mata. Ototnya memilin, kaku, dan panas. Caca ambruk. Wajahnya nyaris mencium tanah merah yang berbau sisa hujan semalam. Di atas sana, matahari mulai memahat rasa sakit di ubun-ubunnya.

"Aku menyerah," bisiknya pada akar pohon yang menjalar. Dunianya mulai mengabur oleh kristal bening yang mendesak keluar dari sudut matanya. Rasa asin air mata jatuh, bersatu dengan keringat yang mengucur deras seperti anak sungai di pelipisnya.

Namun, kemudian terdengar suara gesekan sepatu di atas daun kering—sebuah ritme yang tenang dan berwibawa.

"Gunung ini tidak punya niat jahat, Ca. Dia hanya ingin kau mencicipi sedikit perjuangan sebelum memberikan hadiahnya," Pak Winarno muncul seperti oase di tengah gurun. Beliau tidak mengulurkan tangan untuk menariknya berdiri, melainkan memberikan kepercayaan melalui tatapan matanya.

Dengan sisa nyali yang terserak, Caca bangkit. Ia menyeret kakinya yang berdenyut, mendaki tanjakan terakhir yang terasa seperti tangga menuju langit. Dan saat ia tiba di puncak, semilir angin laut menyapu wajahnya dengan kelembutan sutra. Bau tanah basah dan wangi hutan seketika sirna, berganti dengan aroma kemenangan yang manis dan tak terlukiskan.

Di bawah sana, laut Lampung Selatan berkilau seperti jutaan berlian yang tumpah di atas permadani biru.

Momen di gate finish adalah simfoni yang riuh. Sorak-sorai penonton pecah seperti ombak menghantam karang. Saat medali dingin itu dilingkarkan di lehernya, logam itu terasa lebih berat dari emas mana pun—ia membawa beban keringat, air mata, dan harga diri.

Perjalanan itu ditutup di sebuah meja kayu RM Simpang Marina. Aroma pindang simba yang mengepul mengeluarkan uap rempah yang menggoda indra penciuman. Saat kuah kuningnya yang asam, pedas, dan segar menyentuh lidah, Caca merasa seluruh sel di tubuhnya bersorak.

"Bagaimana, Ca?" tanya Pak Winarno singkat.

Caca tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menyentuh medalinya, lalu menyuap potongan ikan simba yang lembut itu. Hari ini, ia telah memakan rasa takutnya sendiri, dan rasanya sungguh nikmat.

Sunday, December 21, 2025

Membasuh Luka dengan Tinta: Simfoni Makrifat di Bumi Jawatimuran

Di bawah langit Jawa Timur yang menjatuhkan gerimis tipis, sebuah perjamuan batin sedang dirayakan. Gedung BBGTK bukan lagi sekadar susunan batu bata dan semen, ia telah menjelma menjadi sajadah panjang bagi para guru yang bersujud dalam khidmatnya literasi. Di sinilah, rindu dan karya berkelindan dalam pelukan dingin udara Malang yang mulai menyapa tulang.




Elegi yang Menjelma Cahaya

Mari sejenak menyentuh kisah Doktor Daswatia. Bayangkan sebuah hati yang dihantam badai paling sunyi; kehilangan satu-satunya pelita hati. Kehilangan itu adalah sembilu yang menari di atas luka terbuka. Namun, beliau menolak untuk binasa dalam duka yang pekat.

Beliau memungut serpihan hatinya yang berserakan, lalu merekatkannya kembali dengan lem kasih sayang bernama tulisan. Lewat Pentigraf, ia melukis rasa. Kita seolah bisa mendengar detak jantung yang sesak dalam pentigraf peristiwa, namun perlahan mencium aroma bedak bayi yang menenangkan dalam pentigraf momong cucu. Menulis baginya adalah tarian jemari di atas luka yang mengering, mengubah perih menjadi benih-benih kearifan.

Pendakian Spiritual di Atas Kertas

Menulis bukan sekadar menjajajkan kata di pasar wacana. Ia adalah sebuah pendakian menuju puncak kesadaran:

 * Syariat adalah langkah awal yang tertatih, memastikan raga tulisan tak cacat oleh ejaan yang pincang.

 * Tarekat adalah laku prihatin, di mana penulis mencucurkan keringat konsistensi, mendisiplinkan jemari untuk terus menari meski ide sedang bersembunyi.

 * Hakikat adalah saat tulisan mulai memiliki ruh. Kata-kata tak lagi dingin, ia mulai hangat karena dialiri darah kejujuran.

 * Makrifat adalah fana. Penulis lenyap, yang tersisa hanyalah pesan suci yang mengalir jernih. Di titik ini, menulis adalah ibadah sunyi di mana tinta berubah menjadi cahaya yang menuntun pembaca pulang ke rumah makna.

Menenun Asa di Kota Pusaka

Dalam riuh rendah Temu Penulis KBMN ke-4, suara Omjay bergema seperti lonceng pengingat di tengah lelapnya mimpi. "Menulislah dengan hati," tuturnya. Kalimat itu jatuh seperti tetesan madu di lidah para guru, manis namun sarat akan gizi kehidupan.

Kini, para guru bersiap menyongsong mentari di Malang Heritage. Mereka akan menyusuri gang-gang kuno, menyesap aroma masa lalu, dan mengabadikannya dalam bait-bait sejarah. Suara pemateri yang sempat pecah bergema di aula semalam, kini berubah menjadi gemuruh tekad yang utuh di dalam dada.

Sebab mereka tahu, guru yang menulis sedang menyusun tangga menuju keabadian. Meski raga kelak akan dikubur waktu, namun kata-kata yang lahir dari rahim ketulusan akan terus bernapas, menjadi warisan yang takkan lekang oleh panas, takkan lapuk oleh hujan. 

Saturday, December 20, 2025

Kisah Kesetiaan Rasa di Emperan Ruko Kota Batu

KOTA BATU – Pagi menyapa dengan gigil khas pegunungan di Kota Batu. Kabut tipis masih enggan beranjak sepenuhnya, namun di seberang Pasar Induk Kota Batu, sebuah pemandangan hangat mulai terbentuk. Di emperan ruko yang sederhana, aroma gurih nan menggoda menjelajah udara dingin seperti peluk ibu di pagi hari, menarik para pelanggan setia ke Warung Otos Anom.








Dari kejauhan, asap tipis mengepul dari panci besar di atas tungku, membawa serta wangi rempah dan kaldu ayam yang kaya, menusuk hidung dan membangkitkan selera. Di sana, seorang pemuda berambut agak panjang, dengan sigap dan cekatan, melayani setiap pesanan. Tangannya lincah menari di antara mangkuk dan sendok, meracik pesanan soto yang tak pernah sepi peminat.

Namun, pagi ini ada nada tanya yang terselip di antara dering piring dan sendok. "Bapak mana?" adalah kalimat yang paling sering terlontar, seolah melodi rutin yang tak bisa absen. Para pelanggan setia, yang biasa menikmati soto di jam ini, merasakan ada sedikit perbedaan. 

Pemuda itu, dengan senyum ramah, sabar menjawab pertanyaan yang sama berulang kali. "Bapak sedang tidak enak badan," ujarnya, suaranya terdengar tulus dan sedikit lelah karena harus menggantikan ayahnya berjualan sejak pagi. Biasanya, sang ayah lah yang mengibarkan bendera soto ini di pagi hingga sore hari. Kini, di pundak sang anak, estafet rasa dan kesetiaan pelanggan dipertaruhkan.

Dan ia melakukannya dengan gemilang. Setiap mangkuk soto Lamongan, atau yang dalam bahasa walikan Malang disebut Otos Anom, adalah bukti nyata dari filosofi yang diusung: "Olehe Tekun Olehe Sujud, angsale nenuwon olehe memuji." Sebuah pengingat akan ketekunan, ibadah, dan doa yang menjadi fondasi rasa.

Semangkuk Otos Anom dibanderol dengan harga yang sangat bersahabat: 15 ribu rupiah. Sebuah harga yang terasa ringan di kantong, namun meninggalkan kesan mendalam di lidah. Kuah kaldunya yang hangat dan gurih meresap hingga ke tulang, berpadu sempurna dengan potongan ayam, tauge renyah, dan taburan seledri segar. Setiap suapan membawa kita pada kenangan masa lalu, pada hidangan rumahan yang penuh cinta.

Terletak strategis di emperan ruko, warung ini mungkin luput dari pandangan mata yang terburu-buru. Namun, bagi para penikmat setia, pesona kesederhanaannya justru menjadi magnet kuat. Duduk di kursi plastik sederhana, menyantap soto hangat di tengah keramaian pasar, adalah pengalaman yang menghangatkan tubuh dan menenangkan jiwa.

Di balik ketidakhadiran sang bapak, Warung Otos Anom Olehe Tekun terus bergerak. Sang anak, dengan rambutnya yang agak panjang dan ketekunannya, membuktikan bahwa cinta pada masakan adalah warisan tak ternilai yang mengalir dalam darah. Dan semangkuk soto pagi ini, lebih dari sekadar makanan, ia adalah cerita tentang kesetiaan, perjuangan, dan kehangatan keluarga yang tak lekang oleh waktu.


Gemuruh Rindu dan Literasi

Malang – Pagi yang masih berkabut di tanggal 21 Desember menjadi saksi bisu betapa teknologi mampu melipat jarak. Di balik layar gawai, sebuah komunitas literasi terbesar, KBMN (Kelas Belajar Menulis Nusantara), tengah bersiap menggelar hajatan akbar. 






Suasana "panas" sudah terasa sejak pukul enam pagi. Kabar keberangkatan saling bersahutan bagaikan orkestra yang sedang melakukan pemanasan. Eka Agisty, dengan semangat membara, melaporkan posisinya dari Bandara H. Asan Sampit, Kalimantan Tengah. Meski terpisah pulau, getaran mesin pesawat  yang akan membawanya ke Jawa seolah beresonansi hingga ke peserta yang ada di Malang.

Gedung Bhineka Tunggal Ika telah ditetapkan sebagai titik temu utama. Peserta diingatkan untuk mengenakan batik PGRI pada pembukaan pukul 15.00 WIB. Visualisasi kain batik dengan motif hitam-putih yang khas itu akan memenuhi ruangan seperti lautan pengabdi ilmu. Warna-warni cerah dari layar ponsel  yang menampilkan berbagai emoji cinta dan tawa menunjukkan betapa antusiasnya para guru ini bertatap muka.

Tidak hanya soal tulisan, kopdar ini adalah soal rasa. Lia Yuflihah membuka hari dengan pantun jus markisa yang manis-asamnya seolah menari di ujung lidah. Sementara itu, Helwiyah dan Om Jay memastikan agenda berjalan tepat waktu. Di sela-sela persiapan, bayangan akan gurihnya soto ayam yang terletak satu kilometer dari lokasi acara menjadi bumbu penyemangat bagi mereka yang tengah menempuh perjalanan jauh.

Namun, pertemuan fisik tak selalu berpihak pada semua orang. Achienk, salah satu motor penggerak, harus merelakan kerinduannya terpendam karena tugas mulia menjemput anak di pondok pesantren. Rasa sesak di dada karena gagal berfoto bersama mba Ofi dan mba MyDearly terobati dengan janji pertemuan di Banten tahun depan.

Candaan tentang "jangjawokan"  terupdate dari Eka Agisty untuk Aam Nurhasanah menambah keriuhan, membuktikan bahwa meski mereka adalah penulis serius, tawa adalah perekat yang paling kuat.

Kini, semua mata tertuju pada jarum jam. Dari Terminal Arjasari hingga lobi hotel di Malang, para penulis sedang menyusun rindu menjadi narasi. Mereka bukan sekadar berkumpul, mereka sedang merajut benang-benang inspirasi menjadi permadani literasi bangsa.

Simfoni Literasi di Kota Apel: Catatan Perjalanan Kopdar KBMN 4

Ketika jarum jam merangkak ke angka 01.35 WIB, saat dunia sedang pulas dalam pelukan mimpi, grup WhatsApp KBMN 4 justru berdenyut kencang bak jantung yang terpompa semangat. Cahaya layar ponsel berpijar di tengah kegelapan, menampilkan deretan nama yang saling menyapa. Bunda Sri Sugiastuti, sang "dirigen" grup, dengan jemari yang menari lincah, memastikan tak ada satu pun pejuang literasi yang tertinggal di luar gerbang koordinasi.


Pukul 02.14 WIB, kereta api menderu, membelah keheningan malam dengan pekikan klaksonnya yang parau. Stasiun Malang Kota Baru menyambut kami dengan pelukan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang, seolah ingin menguji ketangguhan para penulis ini.

 "Malam ini Malang menjadi kota terindah karena mempertemukan kita," tulis Bu Sri. Kalimat itu bukan sekadar rangkaian kata, melainkan metafora bagi kerinduan yang akhirnya tuntas di titik temu.


Lantai mushollah yang dingin seperti pualam menyentuh telapak kaki, namun suasana di dalamnya justru hangat oleh deru tawa dan sapaan. Bau harum minyak telon bercampur aroma kopi samar-samar tercium di udara.

Pukul 03.00 WIB, kerumunan mulai memadat. Terjadi "perang" keceriaan—sebuah hiperbola untuk menggambarkan betapa hebohnya rombongan Banjarnegara dan Soloraya. Barang bawaan mereka menggunung, seolah ingin membawa seluruh isi rumah demi kenyamanan kawan-kawan di Batu. Para porter berseliweran, gerobak mereka berderit memecah sunyi, membawa beban-beban rindu dalam bentuk koper dan kardus oleh-oleh.

Menjemput Fajar di Kota Batu

Saat adzan Subuh berkumandang, suara muadzin mengalun syahdu, membasuh lelah setelah perjalanan panjang. Usai bersujud, armada jemputan dari BBGP Jawa Timur telah berderet rapi, siap membawa kami mendaki menuju Kota Batu.


Perjalanan menuju Batu adalah pendakian menuju puncak kreativitas. Kita tidak hanya akan melihat kebun mangga dan jeruk yang daun-daunnya melambai genit ditiup angin pegunungan, tetapi juga akan memanen ide-ide segar.

Bagi kami, setiap langkah ini adalah tinta yang tumpah di atas kertas kehidupan. Seperti kata teman-teman di grup, perjalanan ini adalah sekolah kehidupan yang nyata, di mana orang-orang hebat berkumpul bukan untuk saling mengalahkan, melainkan untuk saling menghebatkan.

Selamat ber-Kopdar! Biarlah pena kita menari lebih lincah daripada dinginnya kabut Kota Batu pagi ini.


Friday, December 19, 2025

Fajar di Weleri: Antara Tasbih dan Roti Pagi

Pukul 05.29 WIB, bus melambat dan membuang sauh di Gerbang Tol Weleri. Kehidupan di luar sana mulai menggeliat. Setelah melewati lampu merah, dua penumpang turun, membawa pergi sekelumit cerita perjalanan mereka. Bus kemudian berputar haluan, kembali melaju memasuki urat nadi tol, membelah pagi yang kian terang.

Cahaya matahari pagi yang jingga keemasan mulai menerobos masuk, menyentuh tirai-tirai kain dan debu halus yang menari di udara kabin. Di tengah sorot cahaya itu, pemandangan syahdu tersaji. Seorang wanita di barisan kursi tampak begitu khusyuk. Bibirnya bergerak tanpa suara, memanjatkan doa-doa pagi sebagai rasa syukur atas perlindungan sepanjang malam. Jari-jarinya tak berhenti, dengan cekatan memetik biji-biji tasbih, seolah setiap putarannya adalah langkah kaki yang mendekatkannya pada rida Sang Pencipta.

Usai mengadu pada Langit, ia kembali pada dunia. Tasbih itu disimpan dengan rapi, berganti dengan smartphone untuk sekadar mengecek kabar atau waktu. Namun, rutinitas paginya belum usai. Ia mengambil butiran obat, meminumnya dengan seteguk air kemasan untuk menjaga raga tetap bugar di tengah perjalanan panjang.

Botol air itu kembali ke tempatnya di kantung kursi, dan sepotong roti kini berada di tangannya. Ia mengunyahnya perlahan, menikmati sarapan sederhana di atas roda yang terus berputar. Di matanya, terpantul bayangan sawah dan pepohonan yang lari menjauh di balik jendela. Sebuah pagi yang tenang, penuh kepasrahan, dan persiapan untuk menghadapi hari baru di tanah Jawa.


Keheningan dan Kepul Asap Termos

Waktu menunjukkan pukul 03.19 WIB. Dunia di luar jendela masih terbungkus pekat, namun laju bus perlahan melambat, berbelok memasuki sebuah rest area yang bermandikan cahaya lampu neon putih yang kaku. Bus berhenti sejenak untuk mengisi bahan bakar, mengantre di belakang beberapa kendaraan besar yang tampak seperti raksasa besi yang sedang haus.

Cahaya neon yang menerobos masuk ke dalam kabin menyapu wajah-wajah penumpang yang terlelap. Beberapa terjaga, mata mereka mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya, namun tubuh tetap terpaku di kursi—enggan melepas selimut yang hangat.

Di tengah kesunyian itu, seorang wanita paruh baya tampak bergerak pelan. Ia tidak turun, melainkan meraih sebuah termos kecil dari tasnya. Dengan gerakan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, ia menuangkan air panas ke dalam tutup termos yang kini beralih fungsi menjadi gelas darurat.

Asap tipis mengepul, menari-nari di bawah temaram lampu kabin. Ia meniupnya pelan, lalu meneguknya sedikit demi sedikit untuk mengusir rasa kantuk atau sekadar menghangatkan dada dari dinginnya AC bus. Namun, kehangatan itu rupanya sudah cukup sebelum gelasnya kosong. Ia pun bangkit, melangkah pelan menuju toilet di bagian belakang—melewati kursi 8C saya—untuk membuang sisa airnya.

Hanya lima belas menit waktu berhenti. Mesin bus kembali menderu, pintu tertutup rapat, dan ban-ban besar itu kembali melindas aspal dingin. Perjalanan berlanjut, membelah sisa malam menuju ufuk timur yang mulai membayang. Di dalam bus, keheningan kembali bertahta, membawa kami selangkah lebih dekat menuju Solo dan tujuan akhir, Malang.


Simfoni Tengah Malam di Rest Area

Waktu menunjukkan pukul 00.30 WIB. Di saat sebagian besar penghuni bumi terlelap, bus kami perlahan melambat, memberikan sinyal belok menuju gemerlap lampu rest area. Deretan armada Rosalia Indah lainnya sudah tampak terparkir rapi, seperti raksasa yang sedang beristirahat sejenak.

Pintu bus terbuka, menyambut kami dengan udara malam yang dingin. Ratusan penumpang—termasuk saya dari kursi 8C—berhamburan keluar dengan langkah yang sedikit kaku setelah berjam-jam duduk. Tujuan kami satu: sebuah ruang besar yang terang benderang, di mana aroma makanan mengepul menggoda selera.

Suasana di dalam ruang makan itu begitu hidup. Antrean mulai mengular di sudut-sudut strategis; dari kamar mandi untuk sekadar membasuh muka, hingga musala untuk menunaikan kewajiban. Namun, denyut nadi utama ruangan ini ada di meja prasmanan.

Tumpukan piring yang semula menjulang, seketika berpindah ke tangan-tangan lapar. Kursi-kursi kayu yang tadinya kosong dan dingin, kini hangat oleh obrolan tipis para musafir. Suara tapak kaki yang riuh saat masuk tadi, kini perlahan tenggelam oleh simfoni alat makan: dentingan sendok yang beradu dengan piring porselen, serta gemerincing gelas-gelas kaca saat pramusaji dengan cekatan membersihkan meja.

Di tengah riuhnya suasana, saya menyempatkan diri menyeruput teh hangat. Di balik kaca jendela resto yang berembun, saya memandang deretan bus yang siap melanjutkan estafet perjalanan. Perut yang kenyang dan hati yang tenang menjadi bekal utama untuk menempuh sisa jalur Trans Jawa menuju Solo, sebelum akhirnya menyambung langkah ke Kota Malang.

Perjalanan ini bukan lagi soal mencapai tujuan, tapi tentang menikmati setiap detak kehidupan di sepanjang jalurnya.


Menjemput Aksara ke Kota Malang

Perjuangan Selembar Tiket

Perjalanan literasi ini dimulai dengan sedikit ketegangan. Aplikasi Rosalia Indah menunjukkan warna merah—semua kursi menuju Malang habis terjual. Namun, tekad untuk bertemu rekan-rekan penulis tak boleh surut. Strategi pun berubah: Solo menjadi tujuan antara. Beruntung, jari jemari ini masih sempat mengamankan kursi 8C. Posisinya memang di baris paling belakang, tepat di samping toilet, namun bagi saya, kursi itu adalah "singgasana" menuju ilmu.

Persiapan dan Doa

Ransel dan koper telah penuh. Mengikuti panduan panitia, Batik PGRI terselip rapi di antara baju olahraga dan jaket tebal. Tak lupa, oleh-oleh khas Lampung dan sebuah kado rahasia ikut serta, siap berpindah tangan sebagai tanda persaudaraan di bumi Arema nanti.

Jumat, 19 Desember 2025: Roda Mulai Berputar

Tepat pukul 13.00, langkah kaki tiba di Pool Rosalia Indah. Ritual check-in berjalan lancar—lembaran tiket, stiker bagasi, dan sebotol air mineral sudah di tangan. Sebelum menempuh jalur panjang, lambung perlu diisi. Aroma kuah sop dan gurihnya tempe goreng di resto Pool menjadi tenaga tambahan. Pilihan lauk nila goreng dan teh manis hangat menutup sesi makan siang yang nikmat itu.

Melintasi Gerbang Tol dan Selat Sunda

Pukul 13.15, bus besar itu mulai menderu. Perjalanan tidak langsung membelah tol, melainkan menyisir arah Panjang dan Kalianda untuk menjemput sisa penumpang dan mengisi bahan bakar. Setelah itu, bus melaju mantap menuju ujung Pulau Sumatra.

Kini, saya sedang berada di atas KMP Virgo 18. Angin Selat Sunda berembus membawa aroma garam dan harapan. Menatap laut yang luas, saya teringat bahwa perjalanan ini mirip seperti menulis: butuh kesabaran, strategi, dan keberanian untuk menyeberang dari satu ide ke ide lainnya.

Baru saja roda bus menyentuh aspal Pelabuhan Merak, dan kini kami kembali melaju membelah Tol Trans Jawa. Malam akan panjang, tapi setiap putaran roda membawa saya semakin dekat dengan keluarga besar KBMN PGRI di Malang.


Kopdar 4 KBMN PGRI "Goes To Malang"

Menjalin Silaturahmi, Mengukir Aksara di Kota Apel

Hari Pertama: Minggu, 21 Desember 2025

Perjalanan panjang dari berbagai penjuru Nusantara bermuara di BBGTK Jawa Timur. Mulai pukul 12.00 WIB, suasana hangat mulai terasa saat para peserta melakukan proses Check In. Acara resmi dibuka pada pukul 15.30 WIB oleh MC Eka Agisty.

Rangkaian pembukaan akan diisi dengan sambutan dari tokoh-tokoh inspiratif, mulai dari Ketua Panitia, Founder KBMN Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd. (Om Jay), Ketua PGRI Malang, hingga sambutan dari Kepala BBGTK Malang. Momen istimewa terjadi saat sesi penghargaan penulis terbaik dan launching buku sebagai bukti nyata produktivitas literasi kita.

Malam harinya, intelektualitas kita akan diasah melalui seminar bersama Prof. Dr. Ngainun Naim, M.H.I, dilanjutkan dengan workshop mendalam oleh Dr. Daswatia Astuty, M.Pd. dan Dr. Much. Khoiri, M. Si. yang dipandu oleh Host Maesaroh, M. Pd.

Hari Kedua: Senin, 22 Desember 2025

Fajar menyingsing di Malang, kita awali dengan spiritualitas dan kebugaran di bawah komando Mr. Dail. Setelah sarapan, perjalanan literasi dimulai menuju MI Khadijah Malang untuk studi literasi hingga siang hari.

Tak lengkap ke Malang tanpa menghirup udara sejarahnya. Siang hingga sore, kita akan berkelana di Malang Heritage dan Alun-Alun Kota Tugu untuk mencari inspirasi dari sudut-sudut kota yang ikonik. Menutup hari yang produktif, Dr. Mudafiatun Isriyah, M.Pd., CPM. akan hadir memberikan materi seminar ketiga yang mencerahkan sebelum kita beristirahat.

Hari Ketiga: Selasa, 23 Desember 2025

Hari ketiga diawali dengan keceriaan dan kebersamaan. Selain olahraga pagi, momen yang paling dinanti adalah Tukar Kado. Ini bukan sekadar bertukar barang, melainkan simbol kasih sayang antaranggota komunitas.

Petualangan berlanjut ke Jatim Park 2 untuk menyegarkan pikiran, lalu berburu buah tangan di Pusat Oleh-oleh Brawijaya. Sore harinya, kita kembali ke hotel untuk mempersiapkan diri sebelum mengakhiri kebersamaan formal di Kopdar kali ini.

Hari Keempat: Rabu, 24 Desember 2025

Bagi para petualang sejati, perjalanan belum usai. Tengah malam menuju dini hari, rombongan akan berangkat menuju Trip Bromo. Menjemput matahari terbit di puncak penanjakan akan menjadi penutup yang manis dan magis bagi perjalanan Kopdar 4 ini, sebelum akhirnya kita melakukan Check Out pada pukul 15.00 WIB untuk kembali ke daerah masing-masing membawa sejuta kenangan.

> "Menulislah dengan hati, bertemu dengan cinta, pulang membawa karya."

Pantun KBMN: Lampung ke Malang

Pergi belanja ke Pasar Tengah,

Membeli kripik pisang rasa cokelat.

Dari Bandar Lampung hati melimpah,

Demi KBMN siap berangkat.

***

Pagi hari memandang cakrawala,

Burung camar terbang rendah di dermaga.

Mengayuh ombak di Selat Sunda,

Semangat menulis membara di dada.

***

Naik bus melaju di jalan tol,

Melintas jembatan membelah kota.

Meski jauh raga memanggul ransel,

Tak sabar berjumpa para pujangga.

***

Dingin udara di Kota Malang,

Bunga apel mekar di taman.

Kopi darat membawa rasa senang,

Ilmu didapat, bertambah teman.

***

Menulis bukan sekadar kata,

Tapi jejak yang abadi di sana.

Bersama PGRI kita berkarya,

Mencerdaskan bangsa lewat aksara.

***