Saturday, December 27, 2025

Masjid Jami Al Mustawa

 






Navaran

 

























Selamat pagi Lampung

Pukul 05:49 WIB, suara operator kapal memecah lamun pagi, menginstruksikan para penumpang untuk segera kembali ke kendaraan masing-masing. Seketika, ketenangan di ruang lesehan pecah. Arus manusia bergerak serentak menuju pintu keluar, menciptakan kepadatan yang menyesakkan dan antrean yang mengular panjang.

​Dua tangga besi yang curam menjadi tantangan terakhir sebelum kami bisa kembali ke pelukan bus Agra Mas. Di tangga kedua, langkah-langkah kami kembali terhenti. Antrean membeku, macet total. Namun, kali ini tidak ada gerutu yang terdengar. Rasa jenuh yang biasanya menyergap dalam antrean panjang mendadak meleleh dan sirna oleh sebuah pemandangan di cakrawala.



​Di celah pintu keluar kapal, fajar menyapa dengan keanggunan yang luar biasa. Matahari terbit muncul dengan warna jingga yang membara, menyembul perlahan dari balik garis laut yang tenang. Inilah matahari yang sama yang beberapa hari lalu "bersembunyi" di balik kabut tebal Bromo, matahari yang gagal kami dapati meski sudah menahan dingin yang menusuk tulang.


​Semesta seolah menyimpan cahaya itu untuk diberikan di waktu yang berbeda. Jika di Bromo kami mendapati kegelapan kabut, di Selat Sunda kami dihadiahi simfoni cahaya yang membasuh seluruh kelelahan perjalanan. Matahari itu nampak seperti emas cair yang tumpah di permukaan air, mengiringi kapal yang mulai merapat di dermaga Bakauheni.

Thursday, December 25, 2025

Pamit di Bhinneka, Rasa di Junrejo

Siang itu, lobi Gedung Bhinneka 1 di BBGTK Jatim dipenuhi atmosfer hangat yang kontras dengan mendungnya langit Desember. Di sudut ruangan, saya duduk bersama Bu Sri Kanjeng, Bu Lely, dan Pak Patmo. Aroma kopi yang baru diseduh oleh tangan terampil Bu Lely mulai menari-nari di udara, menyusup lembut ke indra penciuman seolah memberikan pelukan perpisahan yang menenangkan.



"Ini untukmu," ucapnya lembut. Kopi itu bukan sekadar minuman; ia adalah cairan hitam penuh kenangan yang akan saya bawa pulang. Tak lama, kurir Gojek pesanan saya tiba, menjadi tanda bahwa waktu telah menarik garis batas. Kami bersalaman, saling bertukar doa yang tulus, dan menggantungkan harapan di langit-langit lobi agar suatu saat garis takdir mempertemukan kami kembali.


Perjalanan membawa saya turun di dekat Kantor Kelurahan Junrejo. Sebuah tugu berdiri tegak di sana, membisu namun megah, menjadi saksi bisu denyut kehidupan persimpangan jalan. Langkah kaki membawa saya kembali ke sebuah rumah makan Padang yang sederhana—destinasi yang seolah menjadi magnet rasa bagi lidah saya.

Ini adalah kali kedua saya singgah di sini. Ingatan saya melompat ke masa lalu, saat saya menaiki Trans Jatim dari Kota Batu dan turun di titik yang sama. Menu pilihannya pun masih identik: sepotong ikan dengan bumbu meresap yang memanjakan lidah. Di tengah dunia yang serba mahal, piring berisi nasi hangat dan lauk pilihan ini tetap setia dengan harga yang ramah di kantong, cukup dengan selembar sepuluh ribuan dan beberapa keping koin—Rp13.000 untuk sebuah kepuasan yang jujur.


Usai menunaikan hajat perut, saya berdiri di tepi jalan, menanti bus Trans Jatim. Tak lama, armada itu muncul, namun interiornya nampak sesak oleh lautan manusia, membuat pintunya seolah enggan menampung beban baru. Saya memilih bersabar, membiarkannya melesat pergi dan menunggu bus berikutnya yang lebih lowong.

Keberuntungan berpihak saat bus selanjutnya tiba. Di dalamnya, kenyamanan menyergap. Mesin yang menderu halus menemani perjalanan saya menuju Terminal Madyopuro. Aspal Malang terasa meluncur mulus di bawah roda. Setibanya di terminal, saya kembali membuka aplikasi ojol—sang asisten digital yang tak pernah lelah—untuk mengantarkan saya ke pelabuhan terakhir hari ini: rumah saudara sepupu.

Menembus Dingin Menuju Bromo

 Menembus Dingin Menuju Puncak Bromo



Malam merayap sunyi saat jam menunjukkan pukul 23.40 WIB. Di halaman Gedung Bhinneka 1, tiga buah mobil "Cakya" terparkir kaku, nampak seperti tiga raksasa besi yang sedang menahan napas. Di dalam salah satu armada, saya duduk bersama Om Jay, Lely Suryani,  Muda, dan Padmo. Ruang kabin yang sempit itu seketika hangat oleh percakapan. Suara Bu Lely, Bu Muda, dan sang sopir saling bertaut, merajut cerita tentang karakter unik suku Tengger—sang penjaga abadi pegunungan ini.

Tepat pukul 00.10 WIB, langit seolah bocor. Hujan turun membasahi bumi, mengubah aspal yang kusam menjadi cermin hitam yang memantulkan kilatan cahaya lampu mobil. Wiper bergerak lincah ke kiri dan ke kanan, menari-nari menghalau tirai air. Suara gemuruh hujan terdengar gaduh, menabuh atap mobil bak ribuan kerikil yang jatuh dari langit, berpadu dengan suara Srak-srak dari ban mobil yang melindas genangan air. Mobil terus melaju, membelah malam dengan kecepatan sedang yang pasti.

Pukul 00.33 WIB, kami tiba di Acala Bromo. Sebuah banner besar terpampang di dinding, menyambut kedatangan kami di tengah dingin yang mulai menggigit.

Perjalanan di Atas Roda Besi

Waktu berputar hingga pukul 00.55 WIB. Mas Gogon berdiri di depan kami, memberikan instruksi terakhir. Penjelasannya tentang rundown acara diakhiri dengan doa yang khusyuk. Satu demi satu, kami menaiki dua unit Jeep yang telah menunggu dengan sabar.

Tepat pukul 01.00 WIB, raungan mesin Hardtop memecah kesunyian malam. Suaranya berat dan parau, seperti naga yang baru terbangun dari tidurnya. Mobil mulai bergerak menyusuri aspal hitam yang meliuk-liuk. Lintasan yang kami lalui adalah sebuah wahana alam yang tak terduga: tanjakan curam yang membuat tubuh terdorong ke belakang, disusul turunan panjang yang seolah membawa kami terjun ke kegelapan, hingga akhirnya kami membelah padang pasir yang luas membentang.

Pukul 02.49 WIB, iring-iringan terhenti. Jeep di depan kami membeku, terhalang sesuatu di tengah guyuran hujan yang kembali menyapa. Tiga menit kemudian, kami kembali merayap perlahan, menembus kabut dan rintik air.

Pelukan Dingin yang Menusuk

Pukul 03.15 WIB, Jeep akhirnya berhenti dan melakukan putar balik. Begitu pintu mobil dibuka, udara dingin seketika menyerbu masuk bak ribuan jarum yang menusuk kulit. Meski tubuh sudah dibalut pakaian tebal berlapis-lapis, rasa gigil itu tetap mampu menembus hingga ke tulang.

Di bawah temaram lampu, sebuah pemandangan unik terlihat dari setiap peserta. Napas yang kami embuskan, baik melalui hidung maupun mulut, berubah menjadi kepulan putih yang tebal. Napas kami nampak seperti uap air yang menari-nari keluar dari moncong ketel yang mendidih, menandakan betapa ekstremnya suhu yang sedang memeluk Bromo pagi itu.


Winarno, 03:31 24 Desember 2025

Wednesday, December 24, 2025

Denyut Pagi di Karangploso: Sebuah Simfoni Kebugaran

Selasa, 23 Desember 2025. Jarum jam menunjukkan pukul 05:03 saat kabut tipis masih memeluk kawasan BBGTK Jawa Timur. Saya memulai langkah dari halaman Gedung Bhinneka 1, tempat aspal terasa dingin menyentuh sol sepatu. Udara pagi itu adalah oksigen murni yang seolah membasuh paru-paru, memberikan energi instan sebelum langkah berubah menjadi lari yang berirama.



Rute membawa saya melintasi jalan di depan Arhanud yang gagah, lalu berbelok ke kiri dan ke kanan, menembus nadi jalanan menuju arah Pasar Karangploso. Di sepanjang jalan, saya menyaksikan pagi yang mulai menggeliat. Suara sayur-mayur yang diturunkan dari pikap dan klakson kendaraan yang mulai bersahutan menjadi musik latar yang hidup. Melewati kawasan Pendem, jalanan yang berkelok terasa seperti tantangan yang menggoda otot-otot kaki untuk terus mendaki, sebelum akhirnya putar balik menuju rumah besar BBGTK Jatim.





Setelah menempuh jarak 5,29 km dalam waktu 48 menit, keringat mulai bercucuran dari pori-pori kulit, terasa hangat namun menyegarkan.


Memasuki area BBGTK, pemandangan kebersamaan tersaji dengan hangat:

Di dalam area gedung, Om Jay tampak bersahaja berjalan kaki mendampingi sang istri. Langkah mereka yang santai adalah gambaran ketenangan di tengah riuhnya aktivitas pagi.

Di sudut lain, Kepala BBGTK Jatim bersama Bapak Patmo, peserta dari Klaten, terlihat lincah mengayuh sepeda. Roda-roda mereka berputar cepat, seolah sedang memburu cahaya matahari yang mulai mengintip dari balik awan.

Sementara itu, Fauzi memilih menantang gravitasi. Di tempatnya berpijak, ia melakukan push-up dengan napas yang teratur, sebuah perjuangan senyap untuk menempa kekuatan fisik.

Menyambut Hari dengan Keceriaan

Usai "pesta" keringat dan gerak fisik, aroma sarapan yang menggugah selera menyambut kami, menggelitik indra penciuman dan membangkitkan selera yang sempat tertidur. Kehangatan teh dan gurihnya hidangan pagi menjadi pengisi energi yang sempurna.

Kini, tubuh terasa ringan dan pikiran menjadi jernih. Kami bersiap meninggalkan penat, bersiap untuk masuk ke dalam sesi ice breaking bersama Kak Kusumo. Ruangan nanti pasti akan meledak oleh tawa dan keceriaan, meruntuhkan dinding kekakuan sebelum memulai materi hari ini.


Simfoni Pagi di Lintasan Araya

Jarum jam baru saja menyentuh angka 04:46, saat semesta masih dibungkus selimut abu-abu yang tipis. Dari titik awal di Jl. H. Alwi Atas  Sumber Bening, saya mulai melangkahkan kaki. Udara Tirtomoyo yang segar terasa seperti air es yang membasuh paru-paru, memberikan suntikan energi instan di setiap tarikan napas.





Sepanjang perjalanan menuju kawasan Golf Araya, jalanan perlahan mulai "terbangun". Langkah kaki saya yang berirama konstan menjadi bagian dari harmoni pagi itu. Saya berpapasan dengan sesama pelari yang napasnya menderu bak mesin pacu, serta para pesepeda yang meluncur cepat seperti anak panah yang lepas dari busurnya, membelah kabut tipis yang masih menggantung di atas aspal.


Memasuki area di seberang sekolah dasar, pemandangan khas pagi hari tersaji dengan kontras yang menarik:

Di sisi kiri jalan, seorang pedagang ayam pedaging sibuk menata dagangannya. Deretan karkas ayam yang putih bersih tertata rapi di atas meja, nampak berkilat tertimpa cahaya lampu jalan yang mulai meredup.

Tepat di sebelahnya, seorang pedagang kue menjadi pusat gravitasi kecil. Wangi manis dari adonan tepung dan gula menggelitik indra penciuman, menggoda siapa pun yang lewat. Beberapa pembeli tampak mengerumuni lapak itu, menciptakan keriuhan kecil di tengah sunyinya pagi.


Selama 32 menit lamanya, otot-otot kaki saya bekerja secara mekanis, melintasi jarak 3,29 km. Keringat mulai merembes dari pori-pori, terasa hangat di tengah terpaan angin Pakis yang sejuk. Ketika rute ini berakhir, jantung saya berdegup kencang—seperti tabuhan genderang yang merayakan kemenangan kecil atas rasa kantuk dan gravitasi tempat tidur.

Pagi itu bukan sekadar tentang angka di aplikasi lari, melainkan tentang menyaksikan bagaimana Malang mulai memutar rodanya kembali.


Tirtomoyo, Pakis, Kab. Malang